TOLERANSI BERAGAMA DALAM PENDIDIKAN AGAMA


Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy  mendapat kecaman  keras saat  mengeluarkan gagasan tentang penghapusan pelajaran agama di sekolah. Pernyataan yang dikeluarkannya menuai pro dan kontra. Sebahagian memberi dukungan dengan alasan kebinekaan Indonesia, sebahagian lagi menganggap upaya  sekulerisasi.

Pro kontra terhadap pernyataan ini sudah diprediksi oleh banyak kalangan  Pihak yang menolak gagasan ini tak terima. Identitas sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia y lekat dengan kehidupan religius. Pendidikan agama harus tetap ada sebagai upaya menjaga generasi muda  sebagai insan religius.

Tokoh-tokoh agama  mapun tokoh politik beramai-ramai menguliti pernyataan ini. Pernyataan yang dikeluarkan tak kalah pedas. Ada yang menyebut offside, tidak paham historis, dan tidak mengetahui undang-undang sistem pendidikan nasional.

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 12 ayat (1) huruf (a) menyebutkan bahwa anak didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Undang-undang ini dipakai mematahkan wacana penghapusan pendidikan agama.

Pelajaran pendidikan agama di sekolah memisahkan siswa yang berlainan agama untuk belajar sesuai dengan agama yang dianut. Selama 2 jam mata pelajaran setiap minggu, siswa belajar dogmatis sesuai dengan agama yang dianut. Pemisahan yang terjadi sering sekali menimbulkan jurang yang lebar antar sesama peserta didik.

Penekanan adanya kelompok mayoritas dan minoritas semakin mempertajam perbedaan yang ada. Siswa semakin diberi ruang untuk menyadari bahwa sesama siswa memiliki perbedaan yang yang mencolok. Identitas yang dilekatkan secara kuat membuat siswa tidak memahami secara mendalam makna kebinekaan.

Beberapa daerah yang kental nuansa keagamaan juga mewajibkan penggunaan jilbab bagi siswi yang beragama Islam. Guru agama yang tidak memiliki semangat kebinekaan membuat sekat antara siswa yang beragama tertentu dengan siswa yang beragama berbeda. Belum lagi kegiatan-kegiatan keagamaan membuat sekat diantara siswa. Sekat-sekat yang dibangun semakin tak terbendung jika kurikulum tak memiliki terobosan dalam penyajian pendidikan agama. 

Kita banyak menemui kejadian dimana sekolah tidak memiliki guru agama sesuai dengan agama yang dianut peserta didik. Pihak sekolah akan menyarankan peserta didik tersebut untuk memilih belajar agama tertentu. Pendidikan agama yang berlangsung adalah proses belajar dogmatika,aqidah dan sejenisnya.Tentu jika merujuk pada Undang-Undang Sisdiknas, ini melanggar hak peserta didik. Sekolah acapkali tidak memiliki pilihan bijak. Konsekwensi yang sering dihadapi peserta didik adalah tidak mendapat nilai agama.

Siswa yang menghadapi keadaan ini sering tidak berani menunjukan sikap . Mereka memberikan keputusan kepada kewenangan sekolah. Keadaan ini jamak kita temui di berbagai daerah di Indonesia. . Jika ada siswa yang beragama Budha atau Hindu di daerah  yang tidak menyediakan guru agama Budha atau Hindu. Belum lagi jika kita membahas tentang penghayat kepercayaan lainnya yang sering harus mendapat pendidikan agama dari agama tertentu.

Keragaman agama dan penghayat kepercayaan di Indonesia tentu membuat negri ini cukup semarak. Keadaan ini juga sekaligus memunculkan banyak tantangan di berbagai daerah khususnya di pelosok-pelosok Indonesia. Kualitas dan ketersediaan guru agama belum bisa menjangkau seluruh peserta didik jika pelajaran agama tetap diselenggarakan sesuai dengan amanat Undang-Undang Sisdiknas.

Kekhawatiran yang juga muncul dari pro kontra soal pengapusan agama di sekolah adalah munculnya paham radikalisasi dan politisasi agama. Beberapa guru agama yang sudah terpapar radikalisasi kerap menyuarakan paham radikal kepada siswa didik. Belakangan ini, anak-anak remaja usia sekolah mengunggah video kebencian terhadap pemerintah lewat akun  media sosialnya. Kebencian ini ditengarai dari paparan paham radikal dari guru agama. 

Hal ini ditepis oleh beberapa pihak. Paham radikal bisa saja didapat siswa dari lingkungan pergaulan, media sosial, pemuka agama bahkan dari keluarga. Pendapat ini tentu tak salah. Paparan paham radikal bisa didapat siswa didik darimana saja. Derasnya arus informasi dan media sosial menjadi pemantik yang siap meledakan paham sesat ini dikalangan siswa.

Pendidikan di sekolah memang seharusnya memiliki kemurnian dari politisasi dan intervensi pihak manapun. Namun, begitu banyak pihak yang menyisipkan pandangan-pandangan politis dan radikalisasi dalam pendidikan agama.Ini menjadi sorotan tajam sekaligus keberatan dari pihak yang menolak pendidikan agama. Tujuan pendidikan agama yang luhur menjadi rusak karena banyaknya kepentingan yang masuk.

Pendidikan agama yang diselenggarakan pihak sekolah masih berupa dogma dan aturan agama. Jika sebatas soal salah dan benar dan ritual keagamaan, tentu rohaniawan/rohaniawati memiliki kapasitas yang jauh lebih mumpuni. Para rohaniawan seperti ustadz, pendeta, biksu memiliki pemahaman yang jauh lebih utuh soal kajian agama dan ritual yang dijalani. Tugas utama mereka dalam membimbing umatnya soal keimanan jauh lebih mendalam.

Keluarga tentu menjadi tonggak utama pendidikan agama. Setiap keluarga yang menjadikan pendidikan agama sebagai pendidikan inti pasti secara ketat mengajarkan dogma sesuai dengan agama yang dianut. Dogma dan aturan yang dijalankan tiap-tiap keluarga tentu jauh melekat karena berlangsung terus-menerus.

Sekolah dan juga universitas tidak perlu mengajarkan pendidikan agama secara dogma atau aqidah. Pendidikan agama di sekolah harus memiliki wujud nyata dan bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Guru-guru agama tidak hanya mengajarkan ritual-ritual keagamaan melainkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tiap ajaran agama. Kebenaran universal yang mengikat seluruh pemeluk agama seperti belas kasih, memelihara alam semesta dan ketaatan pada peraturan.

Guru-guru agama menjadi pembimbing budi pekerti untuk siswa-siswa yang masih kecil. Proyek-proyek belas kasih dan kegiatan amal juga bisa digagas oleh guru agama. Anak-anak yang masih usia dini  diajarkan toleransi sekaligus mengamalkan kemuliaan ajaran agamanya. Ini jauh lebih punya makna.

Pendidikan agama di sekolah berisi kegiatan-kegiatan yang memiliki dampak positif terhadap kehidupan toleransi. Kegiatan keagamaan yang diselenggarakan di lingkup sekolah tidak lagi berisi ritual yang eksklusif bagi agama tertentu melainkan universal. Tiap siswa tanpa memandang agamanya terlibat dan saling mendukung.

Siswa yang lebih dewasa, kelas sepuluh sampai dua belas belas mulai digerakan oleh guru-guru agama untuk bersikap kritis terhadap isu-isu intoleransi yang masih banyak kita temui di Indonesia. Bagaimana pengakuan negara terhadap penghayat kepercayaan atau tantangan yang dihadapi penghayat kepercayaan. Kasus intoleransi yang terjadi di Sigi baru-baru ini dan kejamnya pembantaian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terpapar radikalisme.

Siswa yang lebih dewasa juga diajak memahami kesulitan yang dialami penghayat kepercayaan dalam menjalankan agamanya. Tudingan yang kerap muncul dari pemeluk agama yang telah diakui negara bahwa penghayat kepercayaan sebagai aliran sesat. Bagaimana siswa-siswa ini memandang bahwa Indonesia yang dikenal dunia karena toleransi umat beragama pun masih memiliki banyak persoalan.

Seluruh mahasiswa semester awal juga mendapat mata kuliah agama sebagai mata kuliah dasar. Kuliah agama di universitas juga masih berkutat dalam mempelajari agama yang dianut. Mahasiswa yang memiliki pikiran  lebih kritis seharusnya didorong untuk memandang bahwa agama bukan hanya bicara soal dogma melainkan perwujudan dari Sang Pencipta. Bagaimana agama yang beragam di Indonesia seharusnya mendorong keteraturan dan keharmonisan sesama manusia. Faktanya, kita bisa melihat konflik-konfik umat beragama sering berujung pada kematian. 

Kurikulum pendidikan agama dibuat untuk mendorong generasi muda memandang perbedaan sebagai suatu kekayaan bukan sekat. Jika generasi penerus bangsa memahami dengan mendalam maka tidak ada lagi pertentangan-pertentangan perihal agama yang terjadi. Energi kita tidak dihabiskan untuk mengurus  konflik-konfik agama melainkan pembangunan bangsa.

Generasi muda yang memiliki pemahaman yang baik soal toleransi akan mendorong lingkungannya untuk menjaga keberagaman Indonesia. Harapannya, saat generasi muda ini terjun ke dunia politik maka mereka tidak akan menggunakan politik identitas seperti yang kerap dipertontonkan oleh politikus kita.

Politik identitas agama yang kerap dipakai politikus tentu membuat kita beridik ngeri. Bagaimana identitas agama yang melekat pada calon kepala daerah misalnya membuat para pendukungnya seolah-olah sedang membela agama saat memilih kepala daerah. Bahkan, politik identitas ini sering menyasar ke mahasiswa-mahasiwa sebagai pemilih baru. Akibatnya, tidak ada lagi sikap netral dan kritis. Agama menjadi tunggangan politik untuk orang-orang yang melakukan  politik kotor.

Pendidikan agama menjadi tiang pondasi dalam mengajarkan toleransi. Kerjasama yang terjadi antar mahasiswa dalam kegiataan kemanusiaan contohnya, akan mendorong siswa atau mahasiswa memiliki cinta kasih yang universal. Guru atau dosen agama membimbing siswa untuk tetap memahami identitas agamanya dalam lingkup privasi. Ketika mereka berada dalam ruang publik, identitas itu bukan untuk ajang pertunjukan.

Diskusi-diskusi lintas agama yang diselenggarakan saat pendidikan agama di universitas tentu akan berdampak terhadap pandangan mahasiswa tentang bineka. Diskusi ini akan menghadirkan generasi yang miitan dalam memperjuangkan toleransi di Indonesia. Kegiatan ini akan melahirkan tokoh-tokoh lintas agama yang akan berjuang menjalin toleransi.

Seperti yang dilakukan oleh seorang tokoh lintas iman, Aan Anshori. Dalam postingan yang diunggah di media sosial, ia kerap membagikan tulisan mahasiwa di kelasnya. Salah satu  tulisan yang menarik  berisi pandangan mahasiswi muslim tentang sosok Yesus. Tulisan-tulisan seperti  ini membuka ruang untuk banyak diskusi sehingga mahasiswa memiliki ruang-ruang perjumpaan.

Kegiatan seperti ini dapat kita terapkan dalam  pendidikan agama. Mahasiswa atau siswa didik memiliki ruang perjumpaan antariman secara langsung. Kegiatan ini melucuti prasangka buruk dan perasaan terintimidasi satu dengan yang lain. Tidak ada mayoritas maupun minoritas. Identitas itu perlu kita hilangkan atau minimal dikikis. Identitas yang melekat kuat haruslah sebagai sesama anak bangsa yang saling merangkul.

Saat ini terdapat sekitar 7.3 juta mahasiwa di Indonesia. Jumlah ini sangat besar jika mereka memiliki semangat bineka tunggal ika. Mahasiswa—generasi muda yang akan terus menjaga negri ini indah untuk dihuni. Mereka akan berdiri teguh menjaga toleransi dan memastikan siapa jua di negara ini bebas dalam menjalankan kegiatan agamanya.

Pemuda-pemudi berjumlah 7.3 juta yang di gembleng dalam pendidikan agama melalui diskusi terbuka.  Perjumpaan yang intim dengan pemeluk agama lain akan melahirkan pemahaman yang kuat akan imannya sendiri sekaligus juga belas kasih yang utuh terhadap yang berbeda iman.

“Kalau ada yang memisahkan kita, kita harus sadar persaudaraan yang  lebih besar memanggil kita untuk meyakini Tuhan masing-masing dengan cara sendiri-sendiri” (Gusdur)

 

 

 

Komentar